
Amas Mahmud (Foto Suluttoday.com)
MENGUTIP istilah yang populer bagi kalangan politisi yakni ‘tak ada pertemanan yang abadi, dan yang abadi hanyalah kepentingan’. Kalimat sederhana yang memiliki cakupan luas, ternyata terus relevan dalam tiap langkah para politisi, bahkan hingga pada praktek keseharian kita. Kali ini, penulis berkesempatan membedah bagaimana alur politik lokal di Kota Manado saat ini bergerak, berhenti dan bahkan sengaja dihentikan karena hal-hal yang menurut dalih sebagian masyarakat dilakukan demi supremasi hukum. Kian buram, menurut pengamatan penulis bahwa posisi penegakan hukum dan intervensi politik dijalankan di negeri ini, sehingga perlu dilakukan reposisi, bagaimana kedua komponen penting ini diletakkan pada keberadaannya yang semestinya.
Menegaskan hukum dengan perspektif hukum yang murni, tentu membutuhkan konsistensi di era modern yang penuh dengan tipu muslihat saat ini. Namun, penulis juga sedikit tergoda untuk tidak optimis dengan kondisi perbaikan tatanan hukum di negeri ini, dimana ditengah banyaknya aktor (praktisi) hukum yang terkesan mengabaikan norma-norma hukum yang berlaku. Nasib ini nyaris sama dengan politisi serta masyarakat yang mempermainkan hukum. Politik yang ditarik masuk pada sendi-sendi hukum dengan interpretasi yang sering tidak objektif, nilai hukum dipolitisasi dengan argumentasi tertentu, alhasil urgensi hukum menjadi tidak berdaya ketika diterapkan secara benar.
Perjalanan Pilwako Manado yang berdasarkan jadwal dihelat pada 9 Desember 2015, dan dengan tahapan yang dilaksanakan akhirnya tertunda karena ‘masalah hukum’, seolah menjadi pentas terindah dalam kita mengenal demokrasi kekinian di Kota Manado (baca, politik tarik ulur). Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Manado diperhadapkan dengan gelombang masalah, seperti itupula Panwaslu Manado yang lebih runyam lagi masalahnya hingga di non-aktifkan DKPP. Peristiwa politik di Kota Manado kali ini merupakan prodak realitas demokrasi baru di daerah yang dikenal sangat plural dan menjunjung tinggi persaudaraan ini, dimana mulai dari perubahan status calon Walikota, terjadinya perbedaan pandangan soal penetapan pelaksanaan Pilwako Manado yang dilakukan KPU Manado, Rabu 17 Februari 2016 membuat cerita demokrasi kita menjadi makin sexi disimak.
Dipastikan semua akan bermuara dan ada yang menggerakkannya, sampai pada segmentasi ini bagi penulis ada dua varian yang memiliki pengaruh dominan yakni elit politik dan kepentingan rakyat. Dimana elit politik didalamnya sudah terakomodir kepentingan para kompetitor Pilwako Manado, sementara disisi lain kepentingan masyarakat yang diharapkan diperjuangkan pemerintah (DPRD, KPUD dan Panwas) secara institusional terlihat masing-masing tidak solid memperjuangkan kepentingannya.
Elit partai politik (parpol) untuk hal munculnya friksi politik dan kepentingan, maka menjadi wajar manakala ‘mereka’ ini bertarung hingga adanya pemenang. Tapi, ironisnya jika rakyat kemudian tidak menyatu, rakyat dikotak-kotakkan, dihasut sehingga menjadi terdikotomi. Padahal, kalau sedikit saja kita mengerti spirit politisi tentang ‘teman abadi dan kepentingan abadi’, maka akan kita temukan, siapa yang harus dimusuhi rakyat dalam hal ini, rakyat wajib memarahi para politisi yang hanya kerjanya memprovoksi dan membuat rakyat tidak bersatu. Apapapun itu, kedaulatan rakyat itu harus benar-benar diterapkan dengan baik untuk kepentigan semua golongan, bukan atas kepentingan identitas kelompok, apalagi rakyat tersandera dengan kepentingan warna bendera parpol.
Sudah seharusnya Pilwako Manado, 17 Februari 2016 disukseskan, jangan lagi masyarakat ‘dibelah’. Sebab, masyarakat membutuhkan pemimpin yang defenitif, pemimpin yang benar-benar merepresentasi kepentingan masyarakat yaitu mereka yang terpilih melalui proses pemilihan yang demokratis, bukan ditunjuk dari segelintir orang atau Pejabat Gubernur. Legitimasi seorang pemimpin memang harus dipilih rakyat, disinilah letaknya harus didorong dimana Kota Manado saat ini belum mendapatkan pemimpin defenitif, diluar dari setuju atau tidak dengan penetapan KPU Manado soal hari pelaksanaan Pilwako, namun bila bicara soal kepentingan universal rakyat, itu berarti sudah menjadi wajib untuk kita dorong dan sukseskan Pilwako Manado 17 Februari 2016.
Berhembus informasi terkait penggeseran anggaran Pilkada Manado dari yang sebelumnya telah dialokasikan 20 miliar untuk KPU Manado dari pemerintah Kota Manado pada tahun anggaran 2015, kini pemerintah beralasan tidak tertata dalam APBD untuk anggaran Pilkada 2016. Hal ini menjadi diskursus hangat dan membuat warga Manado mendiskusikannya secara luas, masing-masing pihak memberikan alasan hukum, ada yang menyebutkan perlu adanya PERPU, dan ada yang menyebutkan cukup Permendagri 44 tahun 2015.
Dari semua perbedaan pandangan itu, kita berharap masyarakat kita tidak terbawa dengan kepentingan elit politik. Masyarakat dan elit politik memang tak bisa dibuat sekat, tetap keduanya ketemu dalam ruang kepentingan publik, artunya perlu kedua-duanya dibuat ketemu kepentingannya. Elit politik yang mana yang harus didukung rakyat, apakah elit politik atau pemimpin yang SIAAP, yang CERDAS ataukah yang HEBAT, inilah yang masih menjadi bahan diskusi kita semua. Selanjutnya, masyarakat yang terbawa dalam arus perputaran kepentingan elit politik atau sebaliknya masyarakat yang menggiring elit politik?, kita berharap semua proses demokrasi benar-benar dimenangkan masyarakat Manado. Mari kita merawat kebersamaan dalam bingkai demokrasi lokal yang penuh keakraban, penuh persaudaraan dan jauhkan dari parktek saling mendendam, serta fitnah. (***)
Demokrasi adalah suatu sistem politik yang bertumpu pada persetujuan kontinyu dan ikhlas dari warga Negara. -Anonim.
Catatan Amas Mahmud, Redpel Suluttoday.com