
Dedi Iskamto (FOTO Suluttoday.com)
Meskipun peranan perempuan dalam kancah politik di Indonesia semakin meningkat dari masa ke masa. Namun hal ini dirasa masih belum optimal Kementerian Menteri Pendayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat partisipasi wanita di kancah politik masih sekitar 17 persen. Kendati berbagai perangkat hukum telah melegitimasi partisipasi politik perempuan sampai saat ini antara perempuan dengan dunia politik masih merupakan dua hal yang tidak mudah dipertautkan satu dengan lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di panggung politik formal jumlahnya masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Salah satu strategi untuk memperbaiki ketidakseimbangan gender di politik parlemen dilakukan dengan pengeluaran beberapa aturan diantaranya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang no.15 tahun 2011 tentang Pemilihan umum dan terbaru kompilasi dari berbagai undang-undang yakni Undang-Undang no.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dimana dicantumkan kuota wajib bagi setiap partai politik untuk minimal memiliki 30 persen calon anggota legislatif perempuan di tingkat nasional, provinsi, dan lokal di masing-masing daerah pemilihan umum. Selain itu, dalam UU No. 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa partai politik baru dapat mengikuti setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
Strategi lainnya adalah dengan menerapkan zipper system yang mengatur bahwa setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan. Pada saat pendaftaran calon legislatif setiap partai wajib memenuhi kouta 30% perempuan dari calon yang mereka ajukan jika tidak terpenuhi maka daftar caleg yang diajukan tidak memenuhi syarat. Jika partai tersebut tidak dapat memenuhi 30% caleg perempuan mereka wajib mengurangi caleg laki-laki sehingga memenuhi kouta 30%. Sehingga dapat dipastikan bahwa perempuan menjadi faktor penentu bagi setiap partai untuk memajukan calon legislatif.
Dalam prakteknya tidak semua partai memiliki kader perempuan dengan jumlah memadai, sehingga pada akhirnya partai mencari jalan pintas dengan memasukan sembarang perempuan untuk memenuhi syarat 30%. Jika tidak maka mereka harus siap-siap mengurangi jatah caleg laki-laki. Dengan adanya beberapa undang-undang yang mengatur bahwa wanita harus terwakili 30% dari daftar calon anggota legislatif maka partisipasi wanita dalam dunia politik diharapkan semakin meningkat.
MASIH DIBAWAH TARGET
Walaupun undang-undang sudah mensyaratkan bahwa 30% kouta perempuan tetapi dalam prakteknya belum pernah Parlemen indonesia mendapatkan kouta 30% anggota legislatif perempuan. Walaupun terjadi peningkatan partisipasi wanita di parlemen yang dari pemilu ke pemilu semakin meningkat.Semenjak pemilu 1999 hingga 2014, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR RI belum mencapai angka 30 persen.
Pada pemilu 1999, jumlah perempuan yang menduduki kursi di DPR sebanyak 44 orang atau 8,8 persen. Sedangkan pada Pemilu 2004 naik sedikit menjadi11,82 persen atau menjadi 65 orang. pada pemilu 2009 naik lagi menjadi sebesar 17,86 persen. Namun pada pemilu 2014 proposinya turun tipis 17,32 persen menjadi sebanyak 97 orang atau dari total anggota DPR RI yang berjumlah 560 orang.
Saat ini setiap partai politik memiliki anggota parlemen perempuan pada pemilu 2014 jumlah anggota parlemen perempuan terbanyak berasal dari PDIP dengan jumlah 21 orang. Sedangkan partai lain kurang dari 20.
HAMBATAN POLITIK PEREMPUAN
Ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa keterwakilan perempuan dalam parlemen masih minim. Beberapa faktor diantaranya adalah faktor Psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan budaya.
Secara psikologi perempuan masih memiliki motivasi yang rendah dalam berprestasi dalam bidang politik yakni keinginan untuk tampil secara personal dalam tingkat yang tinggi dalam organisasi. Tampil menjadi pemimpin atau kebutuhan akan aktualisasi diri masih rendah. Jika beroganisasi perempuan lebih memilih untuk menjadi pendukung organisasi, bahkan dalam banyak kasus perempuan menjadi penghias agar sebuah organisasi tidak mejadi kering. Posisi sekretaris atau bendahara adalah jabatan tinggi yang biasanya diraih.
Citra politik yang keras dan kontor membuat perempuan merasa tidak cocok dalam posisi ini. Secara sosial yang kurang mendukung pengembangan potensi perempuan, antara lain wawasan, orangtua, adat, dan system penddidikan yang diskriminatif dimana posisi perempuan masih marginal dan belum memberikan tempat yang layak.
Secara ekonomi kecilnya akses wanita pada penguasaan faktor ekonomi menyebabkan kurang mampunya perempuan berparsisipasi dalam politik. Seperti diketahui bahwa dunia politik mensyaratkan kecukupan modal secara ekonomi untuk mendukung aktifitasnya.
Secara antropologi Dunia politik selalu diasosiasikan dengan ranah publik yang relatif dekat dengan laki-laki, mengingat kehidupan sosial tidak bisa dipisahkan dari akar budayanya di mana mayoritas masyarakat di dunia masih kental dengan ideologi patriarki. Sehingga terbentuknya image dalam diri perempuan bahwa memang sewajarnya mereka berada di belakang pria.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah strutural yakni adanya kurangnya dukungan partai politik dalam peningkatan partisipasi perempuan dalam politik. Dukungan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pengkaderan yang solid dan tersetruktur bagi kader partai. Wujud dari pengkaderan ini bisa dimulai sejak dini ketika para pemuda sudah memiliki hak politik memilih dan dipilih yakni ketika mulai memasuki pendidikan tinggi.
Membangun basis kader pada saat mahasiswa dengan melibatkan dalam setiap kegiatan dan mendukung kegiatan mahasiswa dalam berorganisasi diharapkan dapat meningkatkan partisipasi kaum perempuan dalam politik. Beberapa kajian menunjukan bahwa para politisi perempuan yang kini aktif di parlemen pada masa mudanya adalah aktifis diberbagai kegiatan organisasi, masyarakat, LSM, dan organisasi lainnya sehingga keterlibatan mereka dalam partai politik bukanlah hal yang instan.
Kemampuan berorganisasi. Kemampuan mengemukan pendapat, kemampuan melakukan analisa, kemampuan mengorganisir masa, kemampuan berdiskusi akan sangat mendukung perempuan dalam aktifitas sosial politik bukan hanya di legislatif tetapi juga di eksekutif dan yudikatif. [***]
——————————————————-
Penulis : Dedi Iskamto (Komisioner KPU Kota Pekanbaru, Alumni FE UI)