
Haryanto Antho (Foto Istimewa)
Perhelatan nasional rekruitment kepemimpinan berskala lokal yang bertajuk Pilkada Serentak 2020 telah berakhir dengan berbagai dinamika bawaannya.
Ada yang menang dengan prosentase menakjubkan pun juga ada yang belum menang dengan presisi prosentase yang sungguh tipis.
Tentu kesemua hasil tersebut adalah “keinginan” rakyat pemilih. Persoalan strategi onde-onde, ongol-ongol atau hamburger yang diterapkan para konsultan maupun timses itu adalah persoalan lain, yang sedikit banyak punya korelasi terhadap capaian prestasi pendulangan suara.
Hiruk-pikuk Pilkada, dengan berbagai atraksi kreatif maupun konvensional untuk merebut suara pemilih patut diapresiasi positif, layer ini adalah sebuah bagian penting dalam sebuah proses demokrasi, walau memang, yang kerapkali dilupakan oleh para pihak pendukung maupun pengusung kandidat adalah bagaimana merebut hati pemilih. (Saya teringat dengan strategi konsolidasi hati nurani, yang sering disentil senior saya ketika berkiprah di organisasi mahasiswa).
Fenomena “kalah maar untung” pun sebaliknya “untung maar kalah”, adalah ekses dari sebuah fase akhir dari perhelatan kontestasi politik yang sering tidak terhindarkan.
Kondisi ini, memang, kerap terjadi akibat persoalan internal yang belum atau tidàk tuntas. Ini pun sangat lumrah terjadi, dan bukan sebuah fenomena ajaib atau baru.
Tapi menurut hemat saya, mengevaluasi atau mencermati hasil Pilkada, bukan hanya sekadar kenapa bisa menang atau mengapa sampai kalah. Tapi yang terpenting dari itu, adalah, bagaimana kedepannya.
Tentu, untuk yang menang, pasti akan merumuskan strategi untuk bisa melanggengkan “kekuasaan” dengan berbagai -mungkin- infrastruktur politik yang telah dipunyai sebelumnya dan bisa saja akan ada infrastruktur baru yang diperoleh, saat meraih kemenangan itu.
Sementara yang Kalah pun, tak harus larut dalam saling menyalahkan (semoga tidak) dan bersedih yang berlarut-larut, tapi terpenting adalah belajar dari kegagalan saat ini. Karena saya yakin, dengan strategi yang diterapkan, bukannya lemah tapi bisa jadi lawan sedikit lebih kuat saja.
Tapi fokus saya bukan persoalan hasil Pilkada. Tapi, menurut hemat saya Pilkada kali ini meninggalkan “harta Karun” (baca :peluang) yang sangat besar, dan dapat di petik hasilnya pada perhelatan politik 2024, bagi orang-orang yang memahaminya.
Salah satu “harta Karun” itu adalah ke depan akan terjadi pergesaran aktor politik, baik ketokohannya maupun angkatan (usia).
Generasi Old (sebelum Milenial) mungkin akan bergeser kiprahnya, sementara generasi 90an yang adalah generasi transisi antara generasi Old dan Milenial, mungkin masih bisa eksis, walau akan berhadapan dengan generasi yang melek teknologi.
Tapi generasi Old pun, akan sangat punya pengaruh signifikan lewat saran-saran brilian berdasar pengalamannya.
Dalam konteks ini, apakah generasi transisi bisa membaca tanda-tanda zaman ini? Saya punya keyakinan, mereka bisa berdasar pengalaman lapangan. Belajar dari kegagalan adalah hal yang sangat penting menuju kepada kesempurnaan. Bukan mengulangi lagi kesalahan yang sama.
Karena generasi Milenial, “hampir” menguasai lini-lini strategis dalam hal penjangkauan konstituen (YouTube, Instagram, FB bahkan Tik-Tok, adalah sarana komunikasi para milenialis).
Yang jadi pertanyaan penting hari ini adalah, apakah generasi transisi menyadari keadaan ini? Saya pun yakin, pasti sadar. Cuma yang jadi persoalan, kesadaran atas keadaan ini hanya sampai diketahui saja atau ada “action” brilian untuk mengarungi perubahan zaman demi menjangkau keberhasilan di 2024 nanti? Wallahu alam bissawab.
Kualifikasi dan kualitas personal tentu sangat dibutuhkan pada pertarungan nanti, tapi bukan menjadi lengah atau santuy, tapi kualitas tersebut bisa dijadikan srana membangun jaringan yang menopang perencanaan ke depan.
Di era 2024, nanti, mengandalkan kekuatan dan kemampuan personal saja belum cukup, dibutuhkan kolaborasi positif tanpa syarat dan simbiosis mutualisme, bukan kolaborasi untuk mendominasi. Sehingga keteraturan ritme perjuangan akan tetap terjaga dan terkontrol fluktuasinya.
Pun juga, terlalu mengandalkan komunitas yang belum bisa move on (dalam hal strategi dan taktik) setali tiga uang juga, dengan pengandalan kualitas personal.
Komunitas yang telah terbangun harus senantiasa diperbaharui tata kelolanya (manajemen), strategi dan taktiknya, pola dan skema pergerakan mengikuti perkembagan zaman yang begitu cepat berubah ini. Jika tidak, sama saja jalan di tempat.
Dimanakah letak “harta Karun” Pilkada 2020 itu? Mari kita cari bersama, Kawan.
Saya hanya bisa menghayal saja, disela-sela menyelesaikan sebuah Novel karya George R.R Martin yang berjudul A Game of Thrones (Perebutan Takhta) dengan secangkir kopi tubruk yang tentu menambah lebar perambahan imajinasi saya tentang harta Karun Pilkada 2020 itu.
**
Dari Bilangan Jl. W.R. Supratman
Sabtu, 12 Desember 2020 (bertepatan dengan Hari Belanja Online Nasional)
Tukang Bekeng Kopi