Akhir – akhir ini, banyak gonjang – ganjing terjadi di bangsa kita, mulai yang berkaitan dengan hukum, hingga yang bertalian dengan masalah sosial, negeri Indonesia seolah tak pernah sepi dari parodi, mulai dari parodi dengan lakon dan alur yang jelas, hingga parodi dengan alur dan lakon yang sangat absurd, ya ragam kasus besar yang muncul belakangan, tak ubahnya sebuah parodi yang ditampilkan di gedung teater, rumah besar bernama Indonesia bertindak sebagai gedung teaternya, manusia yang bernaung dalam rumah tersebut (rakyat), bertindak sebagai penontonnya, parodi tersebut ada yang selesai dalam sekejap, atau minimal seolah diselesaikan, ada pula yang berlangsung lama, bahkan terus – menerus tanpa ujung yang jelas, akibatnya penontonnya menjadi bosan, terlebih yang ditonton jauh dari kata mendidik, tontonan tersebut didominasi oleh hasrat kekuasaan, kepentingan menjadi panglima di dalamnya, tak ada lagi nuansa nurani dalam semua parodi itu, nurani menjadi kata terlupakan, bahkan sengaja dilupakan.
Di wilayah hukum misalnya, kita akan berjumpa dengan parodi upaya penghancuran KPK lewat tangan busuk kekuasaan, bagi masyarakat awam, bisa saja banyak yang tidak menduga, bahwa nasib KPK akan naas seperti sekarang, apalagi sebelumnya, optimisme publik semakin menguat, khususnya saat KPK dipimpin Abraham Samad, kasus besar mulai disentuh, orang dalam kekuasaan mulai diproses, namun ternyata, yang terjadi di kemudian hari, kelompok kekuasaan, yudikatif dan legislatif beserta kroni – kroninya, mampu menyusun rencana massif dan terstruktur menghantam balik KPK, mulai dari mempolisikan dua orang pimpinan KPK yang paling garang mengeksekusi koruptor, hingga upaya mengkriminalisasikan pulahan pegawai KPK, dengan tuduhan yang sangat susah diterima akal sehat, mengapa? Sebab kasus tersebut tiba – tiba muncul saat tangan KPK mulai menyentuh petinggi kekuasaan, termasuk petinggi kekuasaan di lingkungan penegak hukum, parodi ini menjadi semakin lengkap, tatkala pimpinan tertinggi Indonesia, sang presiden, terlalu lama duduk manis di kursi istana, dan membiarkan KPK terseok – seok, baru ketika KPK hampir menemui ajalnya, sang presiden mengeluarkan jurus ampuhnya yang bernama perpu, sayang perpu tersebut tak ampuh mengembalikan wibawa KPK, KPK seolah menjadi manusia pesakitan yang terus ditikam, lagi – lagi nurani tak hadir dalam parodi ini, semuanya didasarkan pada hitungan mengamankan kekuasaan.
Parodi lainnya yang tak kalah ambigu adalah, kasus terpidana mati beberapa pelaku narkoba, khususnya terpidana mati yang berasal dari Australia, pemerintah negeri kanguru sepertinya tak patah arang, ragam jurus digunakan untuk menyelamatkan warganya, yang pada saat yang sama, warganya itu telah membunuh jutaan masyarakat Indonesia dengan racun narkoba, minimal membunuh pola pikir dan prilakunya, sikap inkonsisten kembali diperlihatkan pemerintah Indonesia, ini terlihat dari penundaan – penundaan eksekusi terhadap para terpidana mati (semoga ketika tulisan ini dipublikasikan eksekusi mati telah dilaksanakan), saat tawaran pertukaran tahanan tidak membuat RI bergeming, maka Australia melangkah lebih jauh, memanfaatkan bocoran dari wiki leaks, salah satu Koran di Selandia Baru, mempublikasikan kecurangan Joko Widodo pada saat Pilpres, entah hal tersebut benar atau salah, namun yang ingin kita lihat adalah sikap sang presiden, yang mesti dilakukan seharusnya bukan aksi ancam balik, berupa pemulangan imigran gelap, namun yang perlu adalah segera mengeksekusi mati mereka, tidak ada lagi penundaan, jika terjadi lagi penundaan, maka kesan intervensi akan sangat kuat, bila RI balik mengancam, maka itu berarti RI bergeming dengan ancaman negeri kanguru, lagi – lagi nurani belum menjadi panglima dalam masalah ini.
Pada sisi sosial, parodi kembali dipertontongkan pemerintah dengan menaikkan harga BBM setelah sebelumnya sempat diturunkan, entah apa yang ada di benak pemerintah dengan tindakan menurunkan dan kembali menaikkan harga BBM sekehendaknya saja, padahal mereka tahu, kenaikan BBM pasti berimbas kepada kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat menengah ke bawah, atau mungkin pula pemerintah melihat bahwa sekarang merupakan saat yang tepat, momennya pas, mumpun mayoritas mata sedang tertuju pada KPK dan eksekusi mati pelaku narkoba, lalu pemerintah diam – diam menaikkan harga BBM, strateginya cukup ampuh juga, minimal kenaikan BBM kali ini, tak memicu riak sekeras sebelumnya, rakyat lagi – lagi dikibuli, dinamika ini sama dengan memancing orang menyelam di air keruh, saat semua orang masih di dalam air keruh, di permukaan, pemerintah bermanuver cepat dengan menaikkan BBM, tak ada yang bisa melihat suasana di atas permukaan saat semua orang masih menyelam di air keruh, sehingga ketika mereka muncul dari permukaan air keruh, maka sudah terlambat untuk berteriak menolak, lagi – lagi nurani tak ada tempatnya dalam permainan seperti ini.
Sangat susah, bahkan terlalu sulit, meyakinkan diri sendiri, bahwa aksi – aksi yang berlangsung dalam semua parodi itu, menjadikan nurani sebagai dasar pertimbangan utamanya, sebuah keputusan, atau tindakan yang berdasar nurani, selalu bersifat tanpa pamrih, yang terbangun di dalamnya adalah solidaritas nilai, bukan solidaritas kelompok berdasar kepentingan, “jika si A salah maka silakan babat, karena ia bukan bagian dari kelompok saya, namun jika si B yang salah maka harus dilindungi, karena ia bagian dari kelompok kita, kalau ia tersentuh maka kita semua berpotensi tersentuh”, mereka yang berupaya melemahkan KPK boleh jadi nuraninya tak menyetujui, kebimbangan untuk mengeksekusi para terpidana mati pelaku narkoba boleh jadi ditentang keras oleh nurani bersangkutan, saat pemerintah kembali menaikkan harga BBM boleh jadi nuraninya sedang berkata “jangan”, namun semua suara itu akan mudah dibungkam saat hasrat kekuasaan, kepentingan, solidaritas kelompok lebih ditaati, belum terlambat mendengar bisikan nurani, sebelum nurani tak lagi mau berbisik walau kita menanti bisikannya, hal ini penting demi menata bangsa berdasarkan nurani.
Catatan : Zaenal Abidin Riam
Ketua HMI MPO Badko Sulambanusa (Sulawesi bagian selatan, Maluku utara, Bali dan Nusa tenggara)