
Agus Jabo Priyono (Foto Ist)
DALAM pidato di PBB tahun 1960, Bung Karno menyampaikan bahwa semua bangsa memerlukan “sesuatu” konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya, atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu ada dalam bahaya. Bagi bangsa Indonesia, yang dimaksud Bung Karno, dengan “sesuatu” tersebut adalah Pancasila.
Dan saat ini, ”sesuatu” yang menjadi konsep berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, setelah beberapa waktu terkubur oleh banjir bandang liberalisasi, tiba-tiba muncul kembali, menjadi perbincangan, menjadi perdebatan hangat, bahkan telah kembali diuji kesaktiannya. Pancasila dengan “wujud” seperti apakah yang muncul sekarang ini? Hal ini sangat penting untuk dijawab, agar “sesuatu” atau “konsepsi” yang mau dijalankan tersebut menjadi jelas, tidak multi tafsir, dan dapat dioperasionalisasikan.
Untuk itu memahami sejarah, latar belakang serta tujuan dari lahirnya Pancasila tersebut menjadi penting, termasuk memahami pemikiran tokoh-tokoh penggalinya. Agar Pancasila tidak mengawang-awang, tidak keluar kontek dari ruh, serta semangat yang menjiwai Pancasila itu sendiri, serta bisa diterapkan dalam situasi sekarang, untuk menjawab persoalan-persoalan yang semakin komplek.
Dalam perjuangan pembebasan nasional melepaskan diri dari cengkeraman Feodalisme, Imperialisme maupun Fasisme, Pancasila adalah anugerah terbesar bagi bangsa Indonesia, sebagai Pondasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut dalam menjaga perdamaian dunia.
Pancasila lahir di saat dunia sedang gonjang ganjing akibat perang dingin, terbelah, antara blok Barat yang Kapitalis dan blok Timur yang Komunis. Di antara dua blok tersebut, Indonesia yang berlandaskan Pancasila, dengan beberapa negara lainnya menjalankan politik bebas aktif, dengan membangun poros Non Blok. Bung Karno menegaskan bahwa “sesuatu itu kami namakan Panca Sila” atau Lima Sendi Negara Indonesia. Lima Sendi itu tidaklah langsung berpangkal pada Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.
Artinya bahwa Pancasila bukan Kapitalis ataupun Komunis.
Implementasi Pancasila secara kongkrit bisa tercermin dari pembangunan kehidupan (haluan) ekonomi, politik serta sosial budaya, yang dituangkan dalam bentuk UUD, UU serta aturan-aturan yang berlaku. Konsep negara Pancasila, pernah dilaksanakan pada jaman Bung Karno (setelah Dekrit 1959) dengan Trisakti nya dan pada masa Orde Baru dengan Triloginya.
Pada masa Bung Karno ataupun Suharto, walaupun sama-sama menjadikan Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD Proklamasi 1945 sebagai landasan konstitusional, penerapan Pancasila dalam kehidupan ekonomi nasional ada perbedaan yang sangat tajam, Bung Karno dengan prinsip “Berdikari”, menjadikan BUMN, ekonomi kerakyatan serta swasta nasional maupun domestik sebagai Soko Guru Ekonomi.
Go to hell with your aid!
Pada masa Bung Karno, setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, telah dirumuskan konsep pelaksanaan Pancasila, yaitu Manipol USDEK, Manifesto Politik : UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional. Manipol Usdek adalah intisari dari Pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1959, yang kemudian disyahkan oleh MPRS tahun 1960, menjadi GBHN.
Konsep pembangunan ekonomi nasional dipertegas oleh Bung Karno pada Pidato yang berjudul DEKON, 28 Maret 1963, sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 UUD Proklamasi 1945, DEKON menegaskan bahwa Manifesto Politik serta pedoman-pedoman pelaksanaannya telah menetapkan strategi dasar (basic strategy) ekonomi Indonesia, yang menjadi bagian mutlak dari pada strategi umum Revolusi Indonesia.
Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam tahap pertama kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa Imperialisme dan bersih dari sisa-sisa Feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan untuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialisme Indonesia, sistem ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa “exploitation de l’homme par l’homme”.
Dalam masyarakat Sosialis Indonesia tiap-tiap orang dijamin akan pekerjaan, sandang-pangan, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritual yang layak. Susunan ekonomi yang demikian inilah yang harus menjadi tujuan segenap kegiatan ekonomi kita, yang harus menjadi tujuan tiap-tiap putera Indonesia (selengkapnya silahkan baca DEKON, 1963). Itulah gambaran singkat konsepsi Pancasila pada masa Bung Karno, masa transisi pengambilalihan modal asing ke dalam negara Indonesia, dan pada tahun 1963, hampir 80 persen modal asing tersebut sudah diambil alih.
Pada masa itu, siapapun yang mengganggu jalannya revolusi digolongkan sebagai kaum kontra revolusi. Sedangkan Pak Harto dengan konsep Triloginya, yaitu pertumbuhan, keamanan dan pemerataan, walaupun masih ada batasan tertentu, menjadikan modal asing serta hutang sebagai instrumen utama dalam pembangunan ekonomi nasional.
Konsep pertumbuhan mulai menjadi mainstream dalam pembangunan ekonomi, investasi asing mulai masuk kembali ke bumi Indonesia. Untuk mengamankan ekonomi nasional tersebut, sistem politik dibangun dengan menjadikan UU Politik sebagai alat kontrol partisipasi politik rakyat dengan konsep massa mengambang, disertai dengan instrumen represif, baik idiologis maupun fisik.
Perpindahan kekuasaan dari Soekarno ke Suharto terjadi perubahan “idiologi negara” dari Pancasila yang “berdikari” menjadi Pancasila ”tergantung modal asing”. Siapapun yang mengganggu sistem Orde Baru adalah musuh negara, akan digebuk. Pasca berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Sovyet, menjadikan kapitalisme kehilangan lawan yang seimbang. Dunia masuk ke dalam era Globalisasi, dengan memposisikan negara-negara kapitalis di bawah kendali AS, menjadi penguasa serta polisi dunia.
Namun sehebat-hebatnya sistem kapitalisme, tetap saja memiliki kontradiksi, yaitu over produksi dan persaingan. Saat ini dunia sedang dilanda persoalan sistemik, gembong Kapitalisme, Inggris dan AS sedang mengalami goncangan di tengah meroketnya dominasi RRC.
Sedangkan situasi dalam negeri kita, sejak tahun 1998, terjadi “reformasi idiologi Pancasila” menjadi “Pancasila Liberal Kapitalistik”, perubahan tersebut ditandai dengan perubahan UUD Proklamasi 1945, menjadi UUD amandemen 2002. Liberalisme telah membuat ruang yang sangat luas bagi para kapitalis, baik asing maupun komprador menguasai perekonomian nasional, akibatnya kesenjangan sosial semakin tajam.
Laporan Bank Dunia tahun 2015 berjudul ”Indonesia Rising Divide” menyebut ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk tercepat dan tertinggi di Asia. Dalam 15 tahun, rasio gini Indonesia meningkat tajam dari 0,30 (2000) menjadi 0,42 (2015). Laporan tersebut mengakui, kendati pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 15 tahun itu sangat menakjubkan, tetapi sebagian besar kue ekonomi jatuh ke tangan segelintir orang saja.
Hanya 20 persen masyarakat terkaya yang menikmati pertumbuhan ekonomi, sedangkan 80 persen (sekitar 205 juta orang) tersingkir dari kehidupan ekonomi. Laporan terbaru Oxfam dan Infid makin memperkuat kenyataan pahit tersebut. Dalam laporan berjudul ”Menuju Indonesia yang Lebih Setara” itu disebutkan, peringkat ketimpangan di Indonesia berada di posisi enam terburuk di dunia.
Tak hanya itu, laporan itu juga menyebut kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 40 persen atau 100 juta penduduk termiskin Indonesia. Kemudian disebutkan, sebanyak 49 persen dari total kekayaan Indonesia dikuasai hanya oleh 1 persen warga terkaya, termasuk 4 orang terkaya tadi. Sementara 51 persen sisanya diperebutkan oleh 99 persen penduduk.
Dua laporan itu membongkar omong-kosong liberalisme tentang kekayaan yang menetes (trickle down effect). Agenda liberalisasi seperti privatisasi,investasi, perdagangan bebas, pemangkasan subsidi, dan berderet-deret kebijakan lainnya, hanya menjadikan segelintir orang menjadi semakin kaya-raya, di sisi lain mayoritas orang jatuh dalam kemiskinan.
Fakta ketimpangan tersebut, akan menjadi bahaya laten bagi bangsa dan negara Indonesia, menyebabkan kecemasan, keresahan, ketegangan sosial di tengah masyarakat, jika meletus dan tidak terpimpin akan sulit untuk dikendalikan. Harapan besar Bangsa Indonesia bisa “berdikari” agar kesejahteraan sosial bisa terwujud, kembali memuncak pada Pilpres 2014, harapan akan perubahan sistemik begitu tinggi. Mengguncang langit dan bumi Nusantara!.
Rakyat sudah ”pasrah bongkok an” kepada Presiden terpilih untuk memimpin perubahan, namun impian perubahan itu belum kunjung datang, kesabaran kembali diuji, jalan liberal kapitalistik masih tetap menjadi haluan negara, menempatkan Kapitalis menguasai serta mengatur kehidupan ekonomi, politik serta sosial budaya. Pancasila yang tiba-tiba ”bangun” di tengah gemuruh gelombang liberalisasi, ketimpangan serta keresahan inj, jangan sampai menimbulkan kecurigaan sesama anak bangsa, serta menjadi banyak versi, tergantung kepentingan politik masing-masing kelompok, maupun kepentingan penguasa negara.
Pancasila harus dikembalikan pada tempat yang sebenarnya, menjadi ”sesuatu” bagi bangsa Indonesia seperti yang disampaikan Bung Karno di depan Sidang Umum PBB tahun 1963. ”Sesuatu” itu adalah ”konsepsi” yang bulat dan utuh, sebagai filosofi, dasar, alat pemersatu sekaligus bintang arah bagi bangsa Indonesia. Sesuai dengan cita-cita awal pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semangat serta prinsipnya termaktub dalam Preambule UUD Proklamasi 1945.
Yaitu Pancasila yang menjadi anti thesis dari Feodalisme, Kapitalisme, Imperialisme, Liberalisme dan Fasisme, maka wujud negara Pancasila adalah negara yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur, lahir batin. Liberalisme yang bertolak belakang dengan Pancasila, menemukan basis ”konstitusionalnya” sebagai sistem ekonomi dan politik, setelah UUD Proklamasi 1945 diamandemen menjadi UUD 2002, padahal fakta telah menunjukkan, alam liberal telah menjadikan kehidupan bangsa Indonesia dihantui kecemasan, miskin serta timpang.
Maka sebagai langkah kongkrit untuk mengoperasinalkan Pancasila, harus dimulai dengan mengubur UUD 2002 yang liberal kapitalistik tersebut, dengan konsensus nasional, menyusun kembali UUD yang sesuai dengan kondisi objektik perkembangan masyarakat Indonesia, maupun perkembangan dunia, dengan tetap dilandasi semangat Preambule UUD Proklamasi 1945, yang di dalamnya termaktub Pancasila sebagai Dasar Negara.
Dilanjutkan dengan langkah pollitik, membredel semua produk UU liberal, digantikan dengan UU yang sesuai dengan semangat Trisakti untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang adil makmur. Memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi agar selamat, itulah jalan yang harus kita lewati bersama, kita kembali memiliki ”sesuatu” atau “konsepsi” sebagai dasar dan arah bagi kita bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.
Mari kita Menangkan Pancasila, sebagai pedoman dalam peri kehidupan, sebagai azimat yang sakti mandraguna bagi bangsa Indonesia, untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu, bermartabat, adil makmur, lahir batin, gemah ripah loh jinawi. Dan jangan sampai Pancasila hanya menjadi alat kekuasaan semata, seperti yang dilakukan oleh rezim sebelumnya.
Hanya di atas keadilan serta kemakmuran, taman sari Bhineka Tunggal Ika akan kokoh dan lestari di bumi Pertiwi ini.
Hentikan Liberalisme, Wujudkan Kesejahteraan Sosial, Menangkan Pancasila!.
Salam Gotong Royong.
Oleh : Agus Jabo Priyono (Ketua Umum KPP PRD)